Penyebab 4 Hakim Ditangkap Kejagung Perkara Korupsi Ekspor CPO

Posted by : Media Global Indonesia News April 14, 2025 Category : Berita Investigasi
Dok, Photo: Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Djuyamto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). Kejagung menetapkan tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom sebagai tersangka kasus dugaan suap dan atau gratifikasi terkait dengan putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, ANTARA

Media Global Indonesia News – Jakarta, Kejaksaan Agung menetapkan empat hakim sebagai tersangka dalam perkara suap penanganan kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Tersangka pertama yang ditetapkan adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, pada Sabtu (12/4/2025) malam.

Kemudian, keesokan harinya, Minggu (13/4/2025), tiga hakim yang menyusul Ketua PN Jaksel adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari PN Jaksel. Empat orang dengan profesi “wakil Tuhan” dalam memutus perkara ini disebut menerima suap miliaran rupiah.

Arif disebut menerima uang Rp 60 miliar dari MS, kuasa hukum korporasi, dan AR, seorang advokat.

Dia kemudian membagi-bagikan uang haram tersebut kepada ketiga hakim untuk mengatur agar PT Wilmar Group bisa divonis lepas. Kejaksaan Agung menyebut, tiga hakim lainnya, Agam Syarif, menerima Rp 4,5 miliar, Djuyamto Rp 6 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 5 miliar dalam aksi suap-menyuap ini. Kronologi penahanan tiga hakim penerima suap Agam Syarif, Ali Muhtarom, dan Djuyamto yang ditahan sehari setelah penahanan Arif Nuryanta sebelumnya mengalami penggeledahan di rumah mereka masing-masing.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar mengatakan penggeledahan dilakukan di Jepara, Sukabumi, dan Jakarta. “Penggeledahan itu berkaitan dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan/atau gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Harli. Dari rumah Ali Muhtarom, Kejagung menyita uang senilai 36.000 dollar AS atau Rp 5,9 miliar dan 1 unit mobil Fortuner.

Selanjutnya, dari rumah hakim Agam Syarif Baharuddin disita uang Rp 616,2 juta. Sedangkan Djuyamto tidak diberikan informasi apakah jaksa melakukan penyitaan atau tidak. Djuyamto sendiri sebelum ditangkap sempat mendatangi gedung Kejaksaan Agung untuk memberikan klarifikasi. Hal ini dilakukan Djuyamto pada Minggu (13/2/2025) dinihari setelah Arif Nuryanta ditahan oleh Kejaksaan Agung, dilansir dari Tempo.

“Malam ini saya mau datang ke Kejagung untuk iktikad baik memberikan klarifikasi sebagai ketua majelis perkara tersebut,” kata Djuyamto.

Namun, belum berganti hari, Djuyamto muncul lagi di gedung Kejaksaan Agung dan statusnya berubah dari orang yang ingin melakukan klarifikasi menjadi seorang tersangka. Vonis Lepas PT Wilmar dari Tuntutan Uang Pengganti Rp 10 Triliun Kasus ini bermula dari vonis lepas yang ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Januari 2023 silam.

Dalam kasus ini, jaksa menuntut Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor dengan hukuman 12 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp 10,9 triliun. Namun, Majelis Hakim Tipikor hanya menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta terhadap Master pada pembacaan putusan hari ini, Rabu (4/1/2023).

Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Muhammad Agus Salim dalam pertimbangannya menyebut, berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, Master tidak terbukti menguntungkan diri sendiri. Ia hanya terbukti menguntungkan beberapa perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar sebesar Rp 1,69 triliun. “Oleh karena terdakwa tidak terbukti menerima uang dari tipikor dalam perkara a quo, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor di atas, kepada terdakwa tidak dijatuhi tambahan berupa pembayaran uang pengganti,” katanya.

Menurut dia, Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan jaksa terkait Pasal 18 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Pasal tersebut menyatakan bahwa uang pengganti yang dibayarkan paling banyak senilai dengan harta benda yang diperoleh terdakwa dalam perbuatan korupsinya.

“Dari pengertian tersebut, maka pidana yang pengganti pada dasarnya adalah berapa nilai harta yang diperoleh terdakwa berdasarkan Tipikor,”  tutupnya.

(R/MGIN)

RELATED POSTS