

Korupsi diduga dilakukan secara sistematis dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 744,5 miliar.
Media Global Indonesia News.com – Jakarta, KPK menetapkan mantan Wakil Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Catur Budi Harto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture atau EDC di lingkungan BRI periode 2019-2024. Selain Catur, KPK juga menjerat Indra Utoyo, yang saat kejadian menjabat Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI dan kini merupakan Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk.
Kasus korupsi yang diduga dilakukan secara sistematis ini ditaksir telah merugikan keuangan negara hingga Rp 744,5 miliar. Berdasarkan perhitungan dengan metode real cost atau biaya riil yang seharusnya dikeluarkan, kerugian tersebut berasal dari dua skema pengadaan. Dua skema itu meliputi skema beli putus Rp 241 miliar dan skema sewa Rp 503,4 miliar.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai adanya persekongkolan jahat dalam proyek pengadaan di Bank BRI. Dalam kasus ini 13 orang dicegah bepergian ke luar negeri oleh KPK, sebanyak 5 orang di antaranya kini berstatus tersangka.
”Ada 13 yang dicekal, tapi 5 yang saat ini tersangka. Nah, jadi pihak-pihak yang dicekal adalah pihak-pihak yang termasuk pihak yang terkait,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Secara rinci, para tersangka adalah Catur Budi Harto (CBH) selaku Wakil Direktur Utama (Wadirut) BRI 2019-2024; Indra Utoyo (IU) selaku Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI 2020-2021; Dedi Sunardi (DS) SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI tahun 2020; Elvizar (EL) selaku pemilik sekaligus Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi (PT PCS); dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja (RSK) selaku Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi (PT BRI IT) tahun 2020-2024.
Ada 13 yang dicekal, tapi 5 yang saat ini tersangka. Nah, jadi pihak-pihak yang dicekal adalah pihak-pihak yang termasuk pihak yang terkait.
Asep Guntur memaparkan, modus operandi kasus ini dilakukan secara terstruktur sejak awal. Tersangka Indra Utoyo diduga telah bertemu dengan pihak vendor, termasuk Elvizar dan Rudy Kartadidjaja, untuk membagi-bagi proyek pengadaan EDC, bahkan sebelum lelang resmi dibuka.
”Ada pertemuan awal untuk mengatur siapa mengerjakan apa. Jadi, lelang yang dilakukan kemudian hanyalah formalitas,” kata Asep.
Selanjutnya, untuk memastikan vendor yang telah ditunjuk itu menang, para tersangka diduga sengaja ”mengunci” spesifikasi teknis barang dalam proses pembuktian konsep atau proof of concept (POC).
Spesifikasi dibuat sangat detail untuk mengarah ke merek tertentu, yaitu Verifone dan Sunmi, yang hanya bisa dipasok oleh vendor pilihan mereka. Akibatnya, perusahaan lain yang ingin ikut serta secara sehat tidak akan mampu memenuhi persyaratan.
”Tersangka IU, atas sepengetahuan tersangka CBH, memerintahkan bawahannya untuk mengatur spesifikasi tersebut. Harga penawaran dari vendor yang sudah ditentukan juga diduga telah digelembungkan,” papar Asep.
Praktik ini, menurut Asep, terus berlanjut dari tahun ke tahun. Catur Budi Harto dan Indra Utoyo diduga secara konsisten mengarahkan agar pemenang lelang adalah lingkaran perusahaan yang sama, di antaranya PT Pasifik Cipta Solusi dan PT Bringin Inti Teknologi.
Sebagai imbalan atas dimenangkannya proyek, Catur Budi Harto diduga menerima hadiah berupa dua ekor kuda dan sepeda dengan nilai total Rp 525 juta dari Elvizar. Sementara itu, Dedi Sunardi menerima sepeda senilai Rp 60 juta.
Tak hanya kepada pejabat BRI, aliran dana haram juga diduga mengalir deras ke pihak vendor, di mana tersangka Rudy Suprayudi Kartadidjaja turut menerima fee dari pihak Verifone Indonesia dengan total mencapai setidaknya Rp 19,72 miliar dan Rp 10,9 miliar.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kesempatan serupa, KPK juga menampilkan hasil penggeledahan dan penyitaan dari penyidikan kasus. Terdapat simpanan uang dalam rekening penampungan KPK sebesar Rp 17,75 miliar, satu set stik golf, dan bilyet deposito sebanyak Rp 28 miliar.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, penyitaan uang dilakukan dari rekening para pihak yang terkait dengan perkara. ”Penyitaan ini sekaligus sebagai langkah awal asset recovery (pemulihan aset) atas dugaan tindak pidana korupsi dalam program ini,” ujarnya.
Selain itu, tim penyidik juga tengah memeriksa intensif para saksi terkait dengan kasus ini. Keterangan mereka didalami untuk membantu penyidik melacak pihak-pihak lain yang diduga turut berperan serta menerima aliran dana haram dari proyek tersebut.
(R/MGIN)
