

Media Global Indonesia News – Balige, Ephorus HKBP Pendeta Victor Tinambunan melalui akun media sosialnya meminta agar PT TPL ditutup.
Ungkapan yang ia tuliskan memuat beberapa hal.
“Bapak/ibu pemilik dan pimpinan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang terhormat. Perkenankan saya menyampaikan beberapa hal secara terbuka melalui media sosial ini sebagai bentuk keprihatinan dan tanggung jawab moral sebagai bagian dari masyarakat di Tano Batak dan Pimpinan Gereja HKBP,” tulis Pendeta Victor Tinambunan, Rabu (7/5/2024).
Selanjutnya, ia utarakan beberapa poin soal PT TPL. Ia menilai relasi sosial antara TPL dengan masyarakat sekitar tidak terbangun.
“Pertama, saya secara pribadi, dan kemungkinan besar mayoritas masyarakat di Tanah Batak, tidak mengenal secara langsung siapa sesungguhnya pemilik maupun pimpinan utama PT TPL,” tuturnya.
Baginya, hal tersebut merupakan suatu ironi yang mencolok, sebuah perusahaan berskala besar yang telah beroperasi selama puluhan tahun di atas tanah leluhur kami, tetapi relasi sosial dan komunikasi dasarnya dengan masyarakat sekitar tetap asing dan tidak terbangun.
“Dalam konteks etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta norma adat yang kami hidup, absennya relasi ini merupakan sebuah kegagalan struktural serta bentuk pengabaian etika hidup bersama di masyarakat,” ungkapnya.
“Kedua, berdasarkan pemberitaan media dan berbagai laporan publik, kami mengetahui bahwa PT TPL telah memperoleh keuntungan finansial yang sangat besar, bernilai triliunan rupiah dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Tano Batak,” sambungnya.
“Ironisnya, akumulasi kapital tersebut tidak tampak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendapatan masyarakat lokal. Ketimpangan ini menjadi cermin ketidakadilan distribusi manfaat ekonomi, dan menunjukkan adanya relasi yang eksploitatif,” lanjutnya
Ketiga, ia menuturkan soal fakta menyakitkan setelah kehadiran PT TPL di Tano Batak.
“Ketiga, fakta yang paling menyakitkan adalah bahwa keberadaan PT TPL telah memicu berbagai bentuk krisis sosial dan ekologis: mulai dari rusaknya alam dan keseimbangan ekosistem, rentetan bencana ekologis (banjir bandang, tanah longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, perubahan iklim), jatuhnya korban jiwa dan luka, hilangnya lahan pertanian produktif, rusaknya relasi sosial antar warga, hingga akumulasi kemarahan yang tidak mendapat saluran demokratis karena ketakutan dan represi,” sambungnya.
Baginya, ini bukan sekadar dampak insidental, tetapi sebuah jejak panjang dari konflik struktural yang tidak kunjung diselesaikan secara bermartabat.
“Suara dari berbagai pihak sekitar 30 tahunan belakangan ini tidak diam, terus menyerukan perlawanan atas ketidakadilan dan perampasan hak karena aktivitas PT. Toba Pulp Lestari yang sebelumnya bernama PT. Inti Indorayon Utama,” ujar John Tony Tarihoran, Rabu (7/5/2025).
“Masyarakat Adat di Tano Batak yang sebagian juga merupakan warga gereja selama ini terus bersuara agar PT. TPL ini segera ditutup,” lanjutnya.
Menurutnya, perusahaan yang tidak memperdulikan keselamatan manusia dan alam di Tano Batak semestinya sudah harus dihentikan dan dicabut izin operasionalnya.
Wilayah-wilayah adat dan yang selama ini diklaim bagian dari konsesi atau lahan perusahaan harus segera dikembalikan kepada Masyarakat Adat, sebagai pewaris titipan leluhurnya.
“Ephorus HKBP telah mengikuti perkembangan dan situasi yang terjadi selama ini tentang dampak buruk beroperasinya PT. TPL di Sumatera Utara,” lanjutnya.
“Suara ephorus ini akan meninggikan dan memperkuat suara-suara yang selama ini seringkali diabaikan dan dihina ataupun direndahkan,” sambungnya.
“Sekaligus mempertegas segala upaya yang telah dilakukan menolak aktivitas PT. TPL adalah upaya yang harus dilakukan bersama termasuk dengan pimpinan keagamaan seperti gereja,” terangnya.
Selanjutnya, ia menuturkan soal luas lahan masyarakat adat yang diklaim PT TPL sekaligus sebagi sumber konflik.
“Dari data yang AMAN Tano Batak peroleh, ada 25.366 Hektar Wilayah Masyarakat Adat yang di klaim sepihak menjadi areal izin PT. TPL, tanpa pernah ada informasi yang jelas dan terbuka kepada Masyarakat Adat selaku pemilik wilayah yang sudah turun temurun berada di kampung atau Huta,” sambungnya.
Ia jelaskan, dari luasan tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang masif seperti; sumber air, hutan kemenyan, areal sakral, makam dan tanaman-tanaman keras seperti kopi, jengkol, durian yang rusak dan digusur untuk aktivitas penanaman PT. TPL.
“Masyarakat Adat yang berjuang mendapatkan pengakuan atas haknya sering kali mendapat kekerasan dan kriminalisasi,” terangnya.
“Dari data yang kami himpun, ada 260 orang yang mendapat kekerasan dan kriminalisasi kurun waktu tahun 1998-2025 karena berjuang mempertahankan haknya dari perusahaan PT. TPL,” pungkasnya.
Sebelumnya Ephorus HKBP Pendeta Victor Tinambunan menginisiasi gerakan moral Ibadah Merawat Alam yang digelar di beberapa lokasi seperti di Balige (akhirnya dipindah ke Lumban Julu), Samosir, dan Tarutung.
(R/MGIN)
