Apa Dampak Lingkungan Akibat Tambang Nikel di Sumsel

Posted by : Media Global Indonesia News June 17, 2025 Category : Berita Investigasi
Dok, Photo: Operator dump truck menuangkan slag atau limbah nikel di tempat penampungan khusus Bahan Berbhaya dan Beracun (B3) di kawasan pertambangan PT Vale Indonesia, Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat 2 Agustus 2024. Sejak 2018, PT Vale telah mendapatkan Izin Pemanfaatan Limbah B3 dan hingga saat ini limbah nikel yang jumlahnya mencapai 4,6 juta ton per tahun tersebut telah dimanfaatkan untuk material konstruksi jalan dan lapisan atas jalan khusus tambang/ ANTARA

Media Global Indonesia News – Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan menyoroti dampak industri nikel PT Vale Indonesia di wilayah tersebut. Kepala Departemen Eksternal Walhi Sulsel Rahmat Kottir mengatakan bahwa perusahaan tambang nikel tertua di Indonesia ini telah beroperasi selama sekitar lima dekade di Sulawesi Selatan dan menguasai lahan yang sangat luas.

Sudah hampir 55 tahun beroperasi di sana. Di Sulawesi Selatan sendiri kalau tidak salah 70 ribu sekian hektare yang dikuasai oleh PT Vale, kata Rahmat Senin, 16 Juni 2025, dilansir dari Tempo.

Rahmat mengatakan bahwa pada beberapa tahun lalu aktivitas PT Vale sempat menuai protes dari masyarakat. Di tengah aktivitas pertanian warga, perusahaan disebut tiba-tiba masuk ke area perkebunan merica dan melakukan pengambilan sampel tanpa koordinasi dengan warga.

“Nah, apa yang terjadi? Masyarakat kemudian melakukan protes dengan situasi itu bahwa apa yang dilakukan oleh PT Vale itu mengancam eksistensi kehidupan mereka,” tuturnya.

Rahmat juga menyebutkan bahwa lahan warga hanya mencakup sekitar 4 ribu hektare, sementara sekitar 17 ribu hektare dikuasai oleh PT Vale. Ia menegaskan bahwa tidak ada sosialisasi dari perusahaan kepada masyarakat sebelum kegiatan berlangsung.

Walhi menilai kehadiran industri nikel ini telah menimbulkan beragam dampak terhadap lingkungan dan kelompok masyarakat sekitar.

Dalam paparannya, Rahmat menjelaskan bahwa dari sisi ekologis, pembukaan lahan tambang memicu deforestasi dalam skala besar dan meningkatkan risiko tanah longsor. Selain itu, eksploitasi tambang menyebabkan pencemaran sungai, sumber air, dan danau, serta sedimentasi yang mengganggu kehidupan biota air.

Bagi masyarakat adat, kehadiran industri nikel menyebabkan marginalisasi, yakni terpinggirkannya hak dan peran mereka dalam pengelolaan wilayah adat. Mereka juga kehilangan akses terhadap air bersih, mengalami pembatasan akses ke hutan, serta akses terhadap pekerjaan.

Dampak juga dirasakan oleh komunitas lokal, khususnya petani dan perempuan. Mereka terlibat dalam konflik lahan akibat tumpang tindih klaim antara masyarakat dan perusahaan. Upaya pemulihan lingkungan dinilai tidak tepat sasaran dan tidak menjawab kebutuhan warga. Komunitas lokal juga menghadapi kurangnya konsultasi yang berarti serta minimnya transparansi terkait operasional perusahaan dan dampaknya terhadap lingkungan hidup mereka.

Sementara itu, bagi pekerja, dampak yang muncul meliputi upah rendah, risiko kesehatan akibat paparan lingkungan kerja, serta tingginya potensi kecelakaan kerja.

Masyarakat Loeha Raya kemudian mendesak para pemegang saham PT Vale Indonesia—Vale Canada Limited, Sumitomo Metal Mining Co., Ltd, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)—untuk menghormati penolakan petani dan perempuan atas perluasan tambang nikel di Blok Tanamalia. Mereka menuntut penghentian perluasan dan eksplorasi tambang, pelibatan TNI/Polri, serta meminta revisi dan penghapusan konsesi tambang.

Kepada Presiden Prabowo Subianto, mereka meminta revisi kontrak karya dan pencabutan izin usaha pertambangan PT Vale di Blok Tanamalia. Mereka juga mendesak perlindungan atas kebun merica, ekosistem Danau Towuti, dan hutan Pegunungan Lumereo-Lengkona.

(R/MGIN)

RELATED POSTS