

Media Global Indonesia News – Jakarta, Gelombang perlawanan terhadap perusahaan tambang raksasa Harita Nickel (Harita Group) kembali membuncah. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menggaungkan kembali kampanye bertajuk “Hentikan Harita” sebagai bentuk protes terhadap dampak lingkungan dan sosial yang semakin meluas akibat aktivitas ekstraktif perusahaan tersebut.
Perusahaan konglomerasi milik keluarga Lim Hariyanto ini telah beroperasi di Desa Kawasi, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara sejak tahun 2012. Dalam perjalanannya lebih dari satu dekade, Harita Group dinilai tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga diduga menyembunyikan fakta-fakta buruk atas dampak operasinya.
Mengutip JATAM, Harita Group selama ini menyatakan bahwa air di kawasan tambangnya aman digunakan. Namun, klaim tersebut bertolak belakang dengan temuan investigatif gabungan dari OCCRP, The Gecko Project, The Guardian, Deutsche Welle, dan KCIJ yang menunjukkan bahwa sejak awal beroperasi, perusahaan justru telah mencemari sumber air di Desa Kawasi.
Kerusakan Ekologis yang Terstruktur
Dalam kajian bertajuk “Hentikan Harita”, JATAM menyebut Harita sebagai simbol nyata perusahaan raksasa yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Aktivitasnya mencakup tambang nikel, batu bara, bauksit, hingga perkebunan sawit dan industri kayu, yang seluruhnya didukung oleh pendanaan dari lembaga keuangan, termasuk perbankan nasional maupun internasional.
“Ironisnya, setiap lokasi operasi Harita selalu menyisakan luka mendalam bagi masyarakat. Mereka mengabaikan hukum, dan berkali-kali melakukan pelanggaran tanpa ada penindakan berarti,” tegas JATAM.
Salah satu pelanggaran yang diangkat adalah keterlibatan petinggi Harita Group, Stevi Thomas, yang secara sah terbukti menyuap mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, senilai 60 ribu dolar Amerika Serikat atau setara Rp990 juta. Kasus ini memperlihatkan bagaimana kekuatan modal dapat menyusup ke dalam sistem pemerintahan daerah.
JATAM juga membeberkan bahwa aktivitas tambang Harita telah memicu deforestasi seluas 19.100 hektare sejak tahun 2000. Artinya, sekitar 13 persen tutupan hutan hilang akibat operasi mereka. Tak hanya itu, terdapat 904 lubang bekas tambang milik Harita yang masih menganga di Kalimantan dan Maluku Utara.
“Seolah belum cukup, Pulau Obi yang hanya seluas 2.542 km² kini menjadi kawasan penyumbang emisi yang setara dengan 2.076.146 mobil di Jawa Timur,” ungkap JATAM dalam laporan tersebut.
Dampak Sosial: Relokasi, Intimidasi, dan Kriminalisasi
Sejak kehadirannya pada 2010, Harita Group disebut telah menimbulkan kerusakan masif di Pulau Obi. Situasi kian parah ketika PT Trimegah Bangun Persada (TBP), anak perusahaan Harita, memperluas operasi secara agresif pada 2017–2018. Penduduk lokal menghadapi strategi yang licik, seperti klaim sepihak bahwa tanah warga adalah milik negara.
“Warga akhirnya tak punya pilihan selain pindah ke permukiman Eco Village yang dibangun oleh perusahaan,” kata JATAM dalam keterangannya.
Kondisi serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Di sana, Harita melalui PT Gema Kreasi Perdana (GKP) tetap melanjutkan operasinya meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan larangan tambang di pulau kecil. Warga yang melawan justru dikriminalisasi dengan dalih hukum.
“Perusahaan menggunakan aparat untuk menekan warga. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” jelas JATAM.
Selain di Maluku dan Sulawesi, Harita juga menyisakan jejak kerusakan di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Lubang-lubang tambang yang dibiarkan terbuka telah menewaskan anak-anak, merampas tanah adat, dan memicu konflik horizontal di masyarakat.
“Perusahaan ini tidak hanya abai terhadap hak masyarakat, tetapi juga berulang kali menabrak hukum,” tulis JATAM.
Melalui kampanye ini, JATAM mendesak perbankan untuk mengevaluasi dan menghentikan pendanaan terhadap Harita Group. Mereka juga mengajak publik untuk bersuara menolak model bisnis yang merusak dan tidak berpihak pada masa depan lingkungan serta masyarakat lokal.
“Perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan hidup harus menjadi prioritas. Bila kita terus diam, maka kerusakan yang ditinggalkan akan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang,” tegas JATAM dalam penutup laporannya.
(R/MGIN)
