Apakah Masih Ada Masa Depan Lestari Untuk Hutan Indonesia?

Posted by : Media Global Indonesia News April 6, 2025 Category : Berita Hutan , Berita Interpretatif , Berita Investigasi
Dok, Photo: Penyerahan Dokumen Kerja Oleh Dewan Penasehat IPBSI Korda Sumatera Utara Kepada Pengurus IPBSI Korcab Tapteng
Dok, Photo: Dewan Penasehat IPBSI Korda Sumatera Utara, Latif Sirait, SH.

 

Media Global Indonesia News – Medan, Dewan Penasehat IPBSI Korda Sumatera Utara Latif Sirait,  Mengatakan Indonesia sebagai bagian dari para pihak memiliki komitmen global untuk menjaga kenaikan temperatur global agar tidak melebihi 2°C, dan mengupayakan menjadi 1,5°C. Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, memandatkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sesuai pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang diupdate pada bulan September 2022 lalu.

Indonesia mengajukan “Enhanced NDC” kepada Sekretariat UNFCCC dengan target penurunan emisi yang meningkat dari 29 persen di NDC Pertama dan NDC yang diperbarui menjadi 31,89 persen tanpa syarat (BAU) dan dari 41 persen di NDC pertama, kemudian diperbarui menjadi 43,20 persen bantuan Internasional pada tahun 2030. NDC yang Ditingkatkan ini adalah transisi menuju NDC Kedua Indonesia yang akan diselaraskan dengan Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 dengan visi untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. NDC telah menetapkan target mitigasi ambisius untuk sektor hutan & penggunaan lahan dan energi yang menyumbang sekitar 97 persen dari total komitmen nasional, ungkapnya.

Berdasarkan upaya untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebanyak 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050 diklaim sebagai upaya pengurangan emisi, yang memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap sektor hutan dan lahan, jelasnya.

Lebih lanjut disampaikannya bahwa “eksklusifitas proyek energi dari sektor kehutanan terbilang istimewa”. Berdasarkan analisis terhadap Permen LHK No.7 Tahun 2021, setidaknya 9 “karpet merah” pengadaan tanah untuk proyek energi dapat berasal dari penurunan fungsi & perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan, dilansir dari FWI, 2023. KLHK terang-terangan akan melakukan pelepasan kawasan hutan seluas 6,91 juta Hektare (Ha) yang 78,39 persen adalah sawit yang juga berpotensi untuk menjadi sumber bioenergi, tambahnya.

Selain itu, (ada juga) izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 0,44 juta Ha yang merupakan HTI untuk sektor energi . Sementara itu, Kementerian ATR/BPN diminta untuk menyediakan lahan seluas 4 juta hektare secara bertahap khusus untuk kebun energi selama 2016 sampai 2025, untuk memenuhi program B30-B50 bioenergi non listrik. Artinya memungkinkan ekspansi sawit kedepan untuk memenuhi target bauran biodiesel, lanjutnya.

Bioenergi dengan memanfaatkan biomassa dari kayu diklaim sebagai terobosan dalam strategi meningkatkan porsi energi baru terbarukan . Dalam dokumen RUPTL , Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk mengimplementasikan bauran pembakaran biomassa (cofiring ) hingga 10 persen di 52 PLTU di Indonesia. Inilah yang kemudian diklaim sebagai energi bersih.

Pemerintah melalui KLHK telah menargetkan pembangunan Hutan Tanaman Energi melalui perusahaan Hutan Tanaman Industri sebanyak 1,29 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan biomassa. Sayangnya, FWI (2023) mencatat, praktek pembangunan HTE sejauh ini sudah mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu hektare dan sebanyak 420 ribu hektare hutan alam tersisa terancam dirusak (planned deforestation). Selain itu, dari 31 perusahaan HTI yang membangun HTE, terdapat 8 izin dalam status dicabut, dan 3 dalam proses dievaluasi. Melalui skema multiusaha, Ini dapat menjadi upaya untuk melanggengkan penguasaan hutan dan lahan semata.

Dalam dokumen Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030, untuk memenuhi target net sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman hingga 6 juta Ha. Untuk memenuhi target tersebut dibutuhkan pembangunan hutan tanaman melalui skema arahan pemanfaatan hutan produksi dan pemberian izin baru (Persetujuan Perhutanan Sosial) sesuai Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Selain melalui pemberian izin baru, pemenuhan target pembangunan hutan tanaman (termasuk hutan tanaman energi) dapat dipenuhi melalui multiusaha, kemitraan, dan kerjasama Perhutanan Sosial, sesuai dengan analisis Forest Watch Indonesia !FWI / 2023), maka dengan itu diproyeksikan akan ada kehilangan hutan seluas 4,65 juta hektare dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar terpenuhinya target net sink 2030.

Perlindungan hutan alam beserta fungsinya terutama di dalam kawasan konservasi dan hutan lindung perlu mendapatkan perhatian para pihak, ucapnya.

Proyek panas bumi kedepan akan diproyeksikan menyasar kawasan konservasi sebagai benteng terakhir perlindungan hutan Indonesia. Panas bumi di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan pasal 31 ayat 2 (a) diselenggarakan di Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Hutan Produksi, dan Kawasan Hutan Lindung. Dengan catatan “Hutan alam yang kadung rusak di kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi saja sudah mencapai 2,4 juta hektare “. Ditambah situasi tumpang tindih perizinan di kedua fungsi tersebut (HL dan HK) mencapai 1,8 juta hektare.

Proyek panas bumi diperkirakan akan memperburuk kinerja perlindungan hutan dan situasi tumpang tindih perizinan di kawasan hutan dengan fungsi lindung dan fungsi produksi. Apalagi jika ditambah proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menambah kompleksitas permasalahan perlindungan hutan di Indonesia akibat adanya proyek transisi energi kedepannya dan ditambah dengan telah disahkan Omnibus Law Cipta Kerja oleh Pemerintah Indonesia, tutupnya.

(R/MGIN)

RELATED POSTS