Ironi “Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Triple Job”

Posted by : Media Global Indonesia News March 29, 2025 Category : Berita Opini
Dok, Photo: Dirjen Pajak Suryo Utomo

Media Global Indonesia News – Jakarta,  Saat penerimaan pajak jeblok, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo justru menduduki triple job, yakni Dirjen Pajak, Komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (SMI), dan Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN). Rangkap tiga jabatan ini tentu menjadi ironi.


Alih-alih diberi peringatan atau bahkan hukuman karena penerimaan pajak selama Januari dan Februari 2025 mengalami penurunan, Suryo Utomo justru malah diberi tambahan jabatan baru sebagai Komisaris Utama BTN. Penunjukan Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BTN yang digelar pada Rabu (26/3/2025), di Menara BTN, Jakarta Pusat, dilansir dari Kompas.com.

Di sisi lain, sesuai informasi di laman website PT SMI yang diakses pada Jumat (28/3/2025) pukul 5.33 WIB, Suryo Utomo tercatat sebagai komisaris PT SMI, BUMN di bawah Kementerian Keuangan.

Suryo Utomo pertama kali diangkat sebagai Komisaris PT SMI sejak 29 November 2019, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 889/KMK.06/2019. Kemudian diangkat kembali sebagai Komisaris PT SMI sejak 17 Juli 2024, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 296 Tahun 2024. Sementara itu, jabatan sebagai Dirjen Pajak sudah diemban Suryo Utomo sejak 2019, saat ia menggantikan posisi Robert Pakpahan yang memasuki masa pensiun.

Defisit APBN dan penerimaan pajak yang jeblok

Berdasarkan pengumuman dari Kemenkeu, kinerja APBN Januari dan Februari 2025 menghadapi situasi yang buruk. APBN 2025 mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) sampai 28 Februari 2025.

Kinerja APBN yang defisit pada awal 2025 adalah kinerja APBN awal tahun terburuk dalam empat tahun terakhir. Selama tiga tahun sebelumnya (2023, 2022, dan 2021) kinerja APBN awal tahun selalu surplus. Penyebab utama defisit APBN Februari 2025 adalah terjadinya penurunan realisasi pendapatan negara. Hingga akhir Februari 2025, realisasi pendapatan negara tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, yakni Rp 439,2 triliun.

Salah satu faktor utama penyebab turunnya pendapatan negara awal 2025 adalah jebloknya penerimaan pajak. Realisas penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 187,8 triliun sampai akhir Februari 2025. Nilai realisasi itu lebih rendah dibanding realisasi pajak periode yang sama 2024, yakni Rp 269,02 triliun. Oleh karena itu, apabila dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2024, maka realisasi penerimaan pajak sampai akhir Februari 2025, jeblok sebesar 30,1 persen.

Implementasi Coretax sejak 1 Januari 2025, menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan turunnya setoran pajak awal 2025 ini. Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu.

Sejatinya penerapan Coretax untuk mempermudah proses pembayaran pajak. Namun, kenyataannya dalam praktik malah membuat kesulitan para wajib pajak untuk melakukan proses pembayaran pajak. Coretax justru menghambat proses pemungutan pajak selama dua bulan pertama 2025.

Buruknya kinerja penerimaan pajak awal 2025, seharusnya menjadi alasan (dasar) logis agar Suryo Utomo mendapat peringatan atau hukuman, bukan malah mendapat tambahan jabatan mentereng sebagai Komisaris Utama BTN.

Rangkap jabatan di BUMN melanggar aturan

Rangkap jabatan seperti yang terjadi pada Suryo Utomo, sejatinya melanggar Undang-Undang (UU) BUMN yang baru, yakni UU No.1/2025.

Di dalam pasal 27B, disebutkan bahwa dewan komisaris BUMN dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas pada BUMN lain, anak usaha BUMN dan turunannya, dan badan usaha milik daerah; dan/atau jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, penunjukan Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN, dan di saat yang sama masih tercatat sebagai Komisaris di PT SMI, merupakan tindakan yang secara kasat mata melanggar aturan pasal 27B UU No.1/2025. Oleh karena itu, pilihan bagi Suryo Utomo adalah memilih salah satu dari dua jabatan di BUMN tersebut, yakni menjadi Komisaris Utama BTN dan mundur dari Komisaris PT SMI, atau memilih menjadi Komisaris PT SM dan mundur dari Komisaris Utama BTN. Lalu, terkait rangkap jabatan antara Komisaris BUMN dan Dirjen Pajak, apakah Suryo Utomo melanggar aturan?

Secara eksplisit memang tidak diatur tegas di UU No. 1/2025 terkait rangkap jabatan antara dewan komisaris dan Dirjen di suatu Kementerian. Namun demikian, rangkap jabatan antara komisaris BUMN (BTN dan PT SMI) dan Dirjen Pajak sejatinya melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana tertulis pada UU No.1/2025 pasal 1A ayat 2 huruf e, yakni prinsip “kemandirian”.

Sesuai penjelasan UU No.1/2025, prinsip “kemandirian” adalah prinsip yang melandasi penyelenggaraan BUMN dengan menjaga dan mengedepankan profesionalitas tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat. Posisi Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak yang bertugas memungut pajak kepada perusahaan (termasuk BTN dan PT SMI) tentu akan menyebabkan benturan kepentingan dengan posisinya sebagai Komisaris di dua BUMN tersebut.

Sebagai Dirjen Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo dituntut mengoptimalkan (memaksimalkan) penerimaan pajak dari perusahaan, termasuk BTN dan PT SMI. Dalam perspektif negara, pembayaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan adalah pendapatan bagi negara.

Namun di sisi lain, sebagai salah satu pengurus perusahaan, yakni Komisaris di BTN dan PT SMI, Suryo Utomo dituntut meminimalkan pembayaran pajak perusahaan agar laba perusahaan meningkat. Dalam perspektif perusahaan, pembayaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan merupakan beban atau biaya. Oleh karena itu, terkait hal ini, pilihan bagi Suryo Utomo ada dua, yakni tetap sebagai Dirjen Pajak dan mundur dari Komisaris BTN dan PT SMI, atau sebaliknya memilih menjadi Komisaris BTN atau PT SMI, dan mundur sebagi Dirjen Pajak.

Dampak dari rangkap jabatan Rangkap

Jabatan Dirjen Pajak sekaligus sebagai Komisaris Utama BTN dan Komisaris PT SMI dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Turunnya kepercayaan publik, khususnya investor dan para pelaku di pasar keuangan, baik pasar modal maupun pasar uang akan dapat menjatuhkan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan melemahkan nilai tukar rupiah. IHSG yang sudah jeblok, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang juga sudah anjlok, akan semakin tertekan dengan turunnya kepercayaan publik akibat rangkap jabatan (triple job) Dirjen Pajak dan Komisaris BUMN.

Jatuhnya IHSG akan memberikan sinyal buruk terkait kondisi ekonomi Indonesia sehingga membuat investor asing tidak mau datang berinvestasi di Indonesia.

Jika hal ini terjadi dikhawatirkan akan menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 ini. Pelemahan rupiah akan membuat harga barang-barang impor menjadi mahal dalam satuan mata uang rupiah.

Karena Indonesia adalah negara pengimpor bahan pangan dan minyak, dengan komoditas utama seperti beras, gandum, kedelai, gula, minyak sawit dan minyak mentah; pelemahan nilai tukar rupiah akan memicu inflasi yang tinggi dan tidak terkendali. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali, selain dapat menggerus pertumbuhan ekonomi, juga dapat memicu terjadinya krisis multi dimensi, yakni krisis ekonomi, sosial dan politik.

(R/MGIN)

RELATED POSTS