

Media Global Indonesia News – Jakarta, Zaman dulu Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Esa mengirimkan tujuh gadis dari kayangan ke Pusuk Buhit. Mereka mandi di Tala, sekitar 30 menit perjalanan kaki sebelum puncak tertinggi Pusuk Buhit. Guru Tatea Bulan, putra dari nenek moyang orang Batak, Si Raja Batak, melihat gadis-gadis itu saat mandi. Lalu, ia mengambil kain milik salah satu perempuan surgawi itu. Enam gadis kembali ke langit dan satu lagi tinggal di Pusuk Buhit, yang kemudian diperistri oleh Guru Tatea Bulan. Mereka bermukim di Parik Sabungan, di kaki Gunung Pusuk Buhit.
Dari perempuan suralaya itu, Guru Tatea Bulan memiliki sepuluh keturunan: lima putra dan lima putri. Putranya yang sulung lahir tidak normal, tidak seperti manusia lazimnya. Tubuhnya tidak memiliki tulang. Ukurannya kecil. Beribu-ribu tahun kemudian ia dikenal dengan nama Raja Uti.
Istri Guru Tatea Bulan sangat mencintai kesepuluh anaknya. Khusus kepada Raja Uti yang tidak normal, dia mesti menanak beras yang enak, agar bisa dimakan. Empat adik laki-laki Raja Uti pun cemburu, bahkan menginginkan abang mereka itu dibunuh, karena fisiknya tidak selayaknya manusia.
Ditekan oleh empat putranya, istri Guru Tatea Bulan akhirnya membawa Raja Uti ke lokasi air terjun Batu Sawan, sekitar satu kilometer dari kampung Parik Sabungan ke arah puncak gunung. Tidak jauh dari air terjun itu terdapat batu berliang, seperti mulut gua, di sanalah Raja Uti ditinggalkan.
Saban hari ibunya diam-diam mengantarkan nasi untuk Raja Uti di Batu Liang. Dia juga memandikan anaknya itu di air terjun Batu Sawan. Mengetahui hal itu, empat putranya yang lain kembali protes, “Kami kira Ibu sudah membuang Abang.”
“Tidak bisa begitu, Nak. Berdosa,” kata istri Guru Tatea Bulan kepada anak-anaknya.
Setelah bertahun-tahun, istri Guru Tatea Bulan kembali menaiki Gunung Pusuk Buhit untuk memberi Raja Uti makan. Dia kaget melihat Raja Uti terjatuh berguling-guling dari Batu Liang. Dia sedih, lalu berdoa, “Ompung Mulajadi Nabolon, saya tidak sanggup lagi melihat anakku tersiksa seperti ini selama hidupnya.”
Akhirnya, dia dan suaminya, Guru Tatea Bulan, dengan berat hati membawa Raja Uti ke puncak tertinggi Gunung Pusuk Buhit. Selama sehari semalam mereka berdoa di puncak, dan tidur di sana. Sambil menangis, Guru Tatea Bulan dan istrinya berdoa, “Ompung, bagaimana pun jadinya kelak anak kami ini, Engkaulah yang tahu. Apakah dia akan jadi manusia yang normal, atau menjadi angin, kami pasrahkan dia ke dalam tangan-Mu.”
Raja Uti pun diselimuti dan ditinggalkan sendirian di puncak tertinggi Pusuk Buhit.
Ratusan tahun berlalu, Mulajadi Nabolon menyampaikan kabar lewat suara-suara tak berwujud kepada warga di kaki Pusuk Buhit: “Ei, manisia, gellengmi ndang mate.”
Empat saudara laki-laki Raja Uti telah beranak cucu. Warga kampung semakin banyak.
Suatu hari ada seorang kakek tak dikenal datang ke kampung, dan berkata, “Akulah anak yang dulu dibuang di puncak.” Orang-orang lalu mengingat cerita, itulah Raja Uti, putra tertua Guru Tatea Bulan, yang semasa kecilnya tidak memiliki tulang.
Raja Uti dikenal sakti. Fisiknya bisa berubah-ubah dalam tujuh macam wujud. Namanya ada tujuh. Raja Uti adalah nama terakhirnya.
“Tidak bisa doa kalian sampai kepada Mulajadi Nabolon bila tidak melalui aku, karena aku tinggal di puncak Pusuk Buhit,” titah Raja Uti kepada warga kampung.
Tapi permintaan Raja Uti sangat berat: ia mesti memakan tubuh manusia sebagai persembahan warga yang meminta sesuatu lewat doa-doa mereka kepada Mulajadi Nabolon. Warga lalu memohon kepadanya agar sesajen tubuh manusia itu digantikan dengan ternak kerbau. Sejak itulah puncak Gunung Pusuk Buhit menjadi keramat.
Bila penyakit atau musibah menimpa warga di perkampungan Limbong dan Sagala zaman dahulu, terang Jatiur Limbong, warga mesti menyiapkan kerbau, horbo laelae, sebagai syarat permintaan doa kepada Mulajadi Nabolon melalui Raja Uti.
“Itu tempat yang sakral. Jangan datang ke Pusuk Buhit jika untuk bersikap atau berkata-kata tak senonoh,”.
Syarat dasar untuk berdoa di puncak Pusuk Buhit, katanya: jeruk purut, daun sirih, dan telur ayam masing-masing tujuh. Bila mampu, orang bisa juga membawa ayam putih atau kambing putih.
Batu sakral di puncak Pusuk Buhit. Batu itu dipercayai sebagai tempat Guru Tatea Bulan dan istrinya berdoa kepada Mulajadi Nabolon dan meninggalkan anak sulung mereka yang sakti, Raja Uti.
(R/MGIN)
