

Media Global Indonesia News – Jakarta, Seekor anak anjing kecil berbulu keemasan diantarkan dari pedesaan ke kota. Ia tampak bingung, matanya polos dan penuh tanya. Namun kebingungannya sirna saat pandangannya bertemu dengan seorang pria berkacamata, berwajah lembut dan penuh senyum. Profesor Hidesaburo Ueno menunduk, mengelus kepalanya dengan lembut, lalu berkata:
“Mulai hari ini, namamu Hachiko. Kamu bukan sekadar anjing peliharaan. Kamu keluargaku.”
Hari-hari mereka dilalui dengan kebersamaan yang sederhana tapi hangat. Setiap pagi, Hachiko akan ikut mengantar Profesor ke Stasiun Shibuya. Dan setiap sore, tepat pukul tiga, ia akan kembali dan duduk di tempat yang sama, menunggu tuannya pulang.
Waktu berlalu, dan kebiasaan itu menjadi rutinitas yang tak tergantikan. Orang-orang mulai mengenal Hachiko sebagai “anjing kecil penunggu stasiun”. Ia duduk dengan sabar, tak pernah mengganggu siapa pun, hanya matanya yang terus mencari—wajah yang paling ia rindukan setiap hari.
Hingga suatu hari di musim semi 1925… sore itu berbeda.
Profesor Ueno tidak kembali.
Ia mengalami serangan mendadak saat sedang mengajar, dan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada sahabat kecilnya yang setia menanti.
Namun Hachiko tak tahu. Ia hanya duduk… menunggu. Sejam. Dua jam. Hari mulai gelap. Tapi ia tetap di sana.
Hari esoknya? Ia kembali lagi. Duduk di tempat yang sama. Menoleh ke arah pintu stasiun setiap kali ada suara langkah kaki mendekat. Menanti dengan harap yang tak pernah luntur.
Hari demi hari, bulan demi bulan… tahun demi tahun.
Sembilan tahun lamanya.
Hujan deras, salju dingin, panas terik—tidak satu pun mampu menghalanginya.
Ia tak pernah pergi jauh, karena ia percaya: tuannya akan pulang.
Orang-orang mulai memperhatikannya. Ada yang memberi makanan, ada yang mengusap kepalanya, bahkan ada yang mencoba membawanya pulang. Tapi Hachiko tetap memilih tinggal.
Karena bagaimana mungkin ia meninggalkan tempat terakhir yang menjadi janji?
Dan pada pagi yang dingin di tahun 1935, Hachiko ditemukan terbaring diam di tempat biasanya menunggu. Ia telah tiada. Tapi dunia tidak melupakannya.
Kini, patung dirinya berdiri di depan Stasiun Shibuya. Bukan hanya simbol kesetiaan, tapi pengingat… bahwa cinta sejati tak butuh banyak kata, tak pernah menuntut, dan tak pernah luntur, meski waktu tak lagi berpihak.
Pesan Moral:
Jika kamu menemukan seseorang yang rela menunggumu selama itu, jangan biarkan ia menunggu sendiri.
Kalau kamu punya seseorang yang kamu rindukan tapi belum sempat kamu temui, peluk dia selagi bisa.
(R/MGIN)
